Anwar Abu Gaza
(Penulis Buku Sosial Media Politik)
Siapa pun calon yang akan berkontestasi pada pemilihan Kepala Daerah tentu menginginkan kemenangan; terpilih menjadi walikota, bupati, atau gubernur. Kebanyakan publisitas mereka mulai dengan memasang banyak baliho dan keliling dari lorong ke lorong, kampung ke kampung bertemu warga. Namun, hal itu tidak cukup membuat popularitas dan elektabilitasnya meroket, yang ada justru malah stagnan. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi?
Political science, mengajari kita untuk mulai pada pertanyaan APA spesifikasi PEMILIH dan permasalahannya? APAKAH mereka senang dengan banyaknya atribut yang tersebar dipinggir-pinggir jalan? APAKAH mereka senang hadir acara-acara politik ketemuan dengan calon? ATAU justru sebaliknya? Semua ini harus dijawab dengan data dan penelitian/riset.
Saat ini ada dua cara mengetahui preferensi pemilih yaitu; Pertama, bertanya langsung ke masyakat dengan teknik survei, hal ini sering dilakukan oleh lembaga survei semisal LSI, SMRC, Poltracking dkk. Kedua, dengan monitoring postingan dan percakapan pada media sosial dan media online untuk mengetahui keresahan warganet atas pribadi dan persoalan yang mereka alami yang bisa dihubungan dengan politik pemilihan saat ini.
Dari Pilpres 2024 dan kemenangan Prabowo-Gibran kita belajar, pasangan ini telah melakukan modernisasi cara berpolitik dengan kekuatan data pada political science. Siapa yang menduga sosok Prabowo harus joget-joget jadi gemoy diiringi lagu ok gass. Hal itu karena data yang dijadikan landasan oleh Tim Prabowo-Gibran. Merujuk pada hasil Exitpoll Litbang Kompas kemenangan terbesar Prabowo-Gibran 65,9% ada pada kelompok usia dibawah 26 tahun, mereka adalah Gen Z yang tersambung dengan sosmed khususnya tiktok.