Makassar , – Kandidat calon wali kota Makassar 2024 dengan hasil survei yang tinggi, belum tentu akan diusung oleh partai politik untuk mendaftar ke KPU pada akhir Agustus nanti.
Hal itu disampaikan Pengamat Politik Unismuh Makassar Andi Luhur Prianto pada diskusi bertajuk Berebut Tiket Pilwali Makassar 2024 di Lapak Kopi Abangda, Makassar, Jumat (12/2024). Acara ini digelar oleh Komunitas Jurnalis Politik.
Luhur mendasarkan argumennya pada kondisi partai yang cenderung sentralistik serta tidak adanya standar objektif dalam menentukan keputusan perihal siapa yang akan diusung.
“Elektabilitas bukan faktor utama. Survei itu tidak lagi bisa menjadi pertimbangan. Sudah banyak kita lihat, yang diusung justru yang sebelumnya tidak pernah sosialisasi,” ujar Luhur Prianto.
Luhur juga berkaca pada fenomena Pilkada Sulsel 2018 dan Pilkada Makassar 2020. Saat itu ada sejumlah figur yang diusung oleh partai meski baru muncul menjelan pendaftaran ke KPU.
Belum lagi soal “perilaku” partai yang disebut tidak konsisten. Luhur memberi contoh, sejumlah partai membuka pendaftaran calon kepala daerah hingga fit and proper test, namun yang diusung adalah kandidat yang tidak mengikuti tahapan tersebut.
“Itu memungkingkan karena itulah perilaku partai politik kita. Partai kan begitu, dia punya aturan formal tapi perilakunya informal. Dia bikin pendaftaran, fit and proper test, survei, tapi kadang yang diusung orang yang tidak mendaftar karena bisa shorcut ke DPP. Itu yang terjadi,” jelas Luhur.
Untuk itu, Luhur menekankan bahwa survei tinggi maupun status sebagai kader partai belum tentu mendapat tiket maju Pilkada Makassar.
Apalagi Kota Daeng dianggap sebagai daerah yang menjadi perhatian elite di Jakarta. Faktor lainnya adalah kondisi politik pasca Pemilu 2024 yang dinilai sangat amburadul.
“Terutama dalam rezim seperti sekarang. Pengendalian tingkat inggi, kontrol, penggunaan kekuasaan yang bisa dilakukan terang-terangan. Faktor elektabilitas yang terbaca dari tren seorang kandidat, tidak lagi bisa menjadi pertimbangan diusung,” tutur Luhur.
“Sudah banyak sekali kejadian-kejadian seperti itu. Makanya kalau di Makassar, apalagi yang paling tinggi cuma 30 persen, saya kira tidak terlalu bisa diandalkan dibanding calon-calon lain,” tandas Luhur.
Sosialisasi, Jangan Fokus Bergerilya Cari Partai
Sementara, CEO PT Duta Politika Indonesia Dedi Alamsyah berpendapat, seharusnya partai politik sudah memutuskan siapa jagoannya mendekati tahap pendaftaran calon ke KPU.
Pertimbangannya, agar para kandidat mulai fokus menyosialisasikan diri ke masyarakat, bukan dengan mengerahkan energi untuk bergerilnya mencari partai di ibukota.
“Yang lain-lain ini sangat miris. Coba cek kandidat, lebih banyak bergerilnya di Jakarta daripada sosialisasi di daerah. Seharusnya bulan-bulan ini sudah berkeliaran di Jakarta tapi fokus sosialisasi,” kata Dedi.
Menurut Dedi, situasi ini menguntungkan kandidat yang punya tingkat elektabilitas yang tinggi, khususnya yang akan maju Pilkada Makassar seperti Munafri Arifuddin atau Appi.
“Apa yang bisa dilakukan kandidat lain dalam mengejar elektabilitas Appi dengan waktu sosialisasi cuma 3 bulan? Kecuali caranya pakai kecurangan,” jelas Dedi Alamsyah.