Oleh Yanuardi Syukur
Ketua Tim Delegasi Negeri Rempah Foundation ke Afrika Selatan
Pada abad ke-16, seorang jenderal Portugis Afonso de Albuquerque (1453-1515) mendapat tugas dari Raja Portugis untuk memperluas pengaruh mereka di Samudra Hindia dan mendirikan kekaisaran Asia Portugis, termasuk hingga menaklukkan Malaka dan Maluku. Afonso berkata kepada pasukannya bahwa Raja Portugal sering memerintahkannya untuk pergi ke Selat Malaka, karena…ini adalah tempat terbaik untuk menghentikan perdagangan yang dilakukan kaum Muslim…di wilayah ini.”
“Jadi, untuk melakukan pelayanan kepada Tuhan, kami dibawa ke sini; dengan merebut Malaka, kami akan menutup Selat sehingga kaum Muslim tidak akan pernah lagi dapat membawa rempah-rempah mereka melalui rute ini,” kata dia. “Saya sangat yakin bahwa, jika perdagangan Malaka ini diambil dari tangan mereka, Kairo dan Mekkah akan sepenuhnya hilang,” lanjut Albuquerque.
Paulo Jorge de Sousa Pinto dari Universidade NOVA de Lisboa, Portugal, dalam dalam Ler História (2024) menulis bahwa pada tahun 1508, Raja Portugis mengirim armada untuk “menemukan” Malaka langsung dari Lisbon, dan Gubernur Afonso de Albuquerque menuntaskan perebutan kota itu dengan kekuatan pada tahun 1511. Selanjutnya, Portugis mencapai Maluku dan memperoleh otorisasi dari Sultan Ternate untuk membangun benteng Sao Paolo (‘Benteng Gamalama’).
Portugis tiba di Ternate pada 1512—setahun setelah menaklukkan Malaka—dan disambut oleh Sultan Bayanullah (1500-1521) dalam konteks perdagangan rempah-rempah. Adapun pembangunan benteng tersebut adalah untuk membendung serangan Spanyol dan Tidore, selain untuk mengendalikan perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Kolonialisme dan shifting jalur perdagangan dari ‘jalur damai’ ke ‘jalur konflik’
Penaklukan bangsa Eropa ke timur tersebut menjadikan ‘jalur perdagangan rempah’ yang sebelumnya aman menjadi tidak aman dan sarat dengan konflik, bahkan perang yang kemudian dilanjutkan oleh VOC, Pemerintah Hindia Belanda, dan Inggris. Keserakahan dan penaklukan menjadi motif utama pada masa itu. Salah satu tokoh yang mendukung misi Afonso de Albuquerque adalah kapten Kastilia-Portugis Antonio de Saldanha.
Walaupun minim pengalaman bahari, Saldanha ditunjuk untuk memimpin satu regu yang merupakan bagian dari armada Afonso de Albuquerque menuju India untuk memperkuat pemukiman Portugis di Cochin, kota Pelabuhan besar di India di sepanjang Pantai Malabar yang berbatasan dengan Laut Laccdive (saat ini di negara bagian Kerala, India). Tujuan Albuquerque yang utama adalah mengamankan perdagangan rempah-rempah dengan mencapai ke the spices Island, yakni Ternate dan Tidore.
Saldanha adalah pendaki pertama yang mendaki Table Mountain di Cape Town pada 1503. Menurut Ensiklopedia Britannica, “The first European to anchor at Table Bay and climb Table Mountain was the Portuguese navigator Antonio de Saldanha.” Ia bertemu dengan beberapa ratus penduduk asli, suku Khoe yang perekonomiannya bergantung pada penggembalaan, perburuan, dan pengumpulan. Setelah kunjungan Saldanha, kapal-kapal Eropa terus berlabuh di Teluk Table untuk mengambil air tawar, daging, dan perbekalan lainnya.
Para penyintas kapal Belanda Haerlem, yang karam di Teluk Table pada tahun 1647, membawa pulang laporan yang sangat menggembirakan tentang wilayah tersebut sehingga para direktur Perusahaan Hindia Timur Belanda memerintahkan agar sebuah stasiun untuk memasok kapal-kapal yang akan ke timur. Dari situ, Cape Town kemudian bertahap menjadi komunitas dan kota, termasuk sebagai tempat pembuangan politik ulama yang melawan Belanda dari Indonesia.
Pada Sabtu, 7 Desember 2024, kami bertiga dari Indonesia, yakni Yanuardi Syukur, Abdul Kadir Ali dan Irma Zahrotunnisa Wijaya ‘disambut’ oleh Table Mountain tersebut. Gunung dengan puncak datar yang menghadap ke kota Cape Town, tempat dimana 8.200 spesies, terutama fynbos atau semak halus menikmati hidup tersebut setia membersamai dan menjaga tanah Cape Town tetap stabil. Menurut info, tiap tahun tidak kurang dari 4,2juta orang beraktivitas di gunung tersebut yang telah menjadi taman nasional juga.
Negeri kami, Indonesia yang dulu dikenal sebagai Nusantara dengan berbagai kerajaan/kesultanan, pernah menjadi perebutan bangsa-bangsa di Eropa secara bergantian. Mereka datang dengan berbagai aktivitas seperti berdagang, menaklukkan, konversi keyakinan, bahkan tak jarang memecah belah masyarakat demi tujuan temporal. Para pemimpin kami yang menyuarakan kebenaran pun ditangkap, bahkan diasingkan jauh dari rumahnya; diantara mereka ada yang dari Tidore, Makassar, Sumbawa, Madura, Batavia, dan Sumatera untuk diasingkan apakah ke Sri Lanka atau lebih jauh lagi ke Cape Town. Namun, kekuatan hati mereka tetaplah teguh; di Cape Town misalnya, mereka justru membebaskan budak dengan memeluk agama Islam, bahkan mendirikan masjid dan madrasah yang syiar keislaman tersebut masih terus bergema di Afrika Selatan.
Misi ke Cape Town, ‘tanah para wali’
Misi kami ke Cape Town adalah berdasarkan tugas dari Negeri Rempah Foundation yang bermitra dengan Kementerian Kebudayaan (sebelumnya Kemendikbud Ristekdikti) untuk ke Afsel dalam rangka misi diplomasi budaya jalur rempah. Selain Afsel, tim NRF juga telah berkunjung ke beberapa negara seperti Madagaskar, China, UK, dan lainnya. Tugas tersebut tidak hanya terkait kunjungan, akan tetapi melihat lebih dekat negara yang kita kunjungi, menemukan ‘outstanding universal value’, yakni nilai-nilai universal yang menjadi milik bersama baik berbentuk nilai atau artefak dalam sepanjang jalur rempah, yakni jalur perdagangan rempah-rempah dunia.
Menurut Ketua Dewan Pembina Negeri Rempah Foundation, Dr. Hassan Wirajuda, “mengangkat kembali jalur rempah bukanlah bernostalgia pada kejayaan nusantara pada masa lalu.Tetapi tujuannya juga untuk mengenali kebesaran masa lalu Indonesia dan kekurangannya, serta merefleksikan sejarah masa lalu untuk masa kini dan masa depan.” Lebih lanjut, menurut beliau, jalur rempah sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa merupakan jalur yang damai. Bangsa-bangsa Eropa datang tidak sekadar berdagang, tetapi memonopoli perdagangan. Dari monopoli melalui penaklukan, berujung pada kolonisasi yang menjadi tujuan mereka berdasarkan pada Perjanjian Tordesillas tahun 1494. Berdasarkan perjanjian ini, Spanyol dan Portugal membagi dunia menjadi dua wilayah yang berpengaruh, masing-masing ke arah barat dan timur. “Dengan mandat untuk menduduki semua wilayah yang ditemukan menjadi millik mereka,” ungkap beliau.
Selanjutnya, terkait jalur rempah yang membentang dari Asia Timur, Indonesia dan Asia Tenggara, Timur Tengah dan Afrika, serta Eropa, Hassan menyampaikan pesan agar kita jangan hanya bernostalgia kepada kejayaan di masa lalu. Dalam menjawab tantangan globalisasi dewasa ini, rempah pada perdagangan masa kini tidak lagi menjadi komoditas yang paling dicari. Tetapi hal itu harus dikembangkan melalui kerja sama perdagangan, kebudayaan, peradaban, serta teknologi. “Tantangan kita adalah bagaimana mengisi warisan sejarah itu dengan inovasi-inovasi teknologi,” pesan beliau.
Dari bandara udara internasional Soekarno-Hatta kami terbang menggunakan Ethiopian Airlines flight ET629 dengan rute transit di Bangkok. Boarding di 20.05 WIB, dan tidak turun; hanya menunggu naiknya penumpang menuju Addis Ababa, kota terbesar di Ethiopia dengan populasi lebih dari 4juta jiwa. Kami tiba di di bandara internasional Bole di Addis pagi hari, dan langsung bersegera ke ruang tunggu menuju penerbangan ke Cape Town. Bandara Bole berjarak 6 km dari pusat kota Addis Ababa. Di kota yang menjadi pusat dari Uni Afrika ini dan tempat penyimpanan fosil kerangka manusia purba “Lucy” (di Ethiopia disebut ‘Dinkinesh’) ini, saya lihat sebuah tulisan promosi ke Afsel yang berbunyi, “Visit South Africa, There’s so much more to see” yang berarti bahwa ‘ada banyak sekali yang dapat dilihat, bahkan dinikmati dari Afsel.’
Dari Addis, kami masih dengan Ethiopian, flight-nya ET845. Kami boarding pada 06.45 local time, dan tiba di Cape Town tanggal 8 Oktober 11.20 CPT. Sebuah kebahagiaan, kini kami telah tiba di sebuah kota bersejarah dimana para ulama, tokoh, pejuang, dan warga di kepulauan Nusantara diasingkan oleh Belanda. Bukan hanya diasingkan, tapi juga diperbudak! Sebuah tindakan yang tidak manusiawi tentu saja, sebab manusia sejak azali tercipta sebagai makhluk yang bebas, dan tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai budak.
Cape Town siang itu begitu cerah. Sebuah peta besar kota tersebut menyambut kami menjelang keluar dari bandara. Kami disambut oleh dua orang, yakni Mas Rio, seorang lokal staff Konsulat Jenderal RI di Cape Town dan Syekh Imron, dosen di International Peace College South Africa (IPSA) yang mengatur jadwal kunjungan dan destinasi kami serta tuan rumah simposium internasional terkait ‘Cape Town to Jakarta’, melacak akar-akar sejarah relasi antara Afrika Selatan dengan Indonesia. Bersama Syekh Imron juga adalah anaknya bernama Khadijah.
Sebelum menuju ke guest house—tempat menginap Irma—dan rumah salah seorang diplomat KJRI—tempat menginap saya dan Abdul Kadir Ali—kami mencoba menikmati kuliner kota ini. Hari cukup panas, tapi berangin. Kami memilih mencari makanan cepat saji, yakni kentang dan ikan, sebab di outlet kecil tersebut tidak tersedia nasi. Walaupun di pesawat kami juga menikmati berbagai sajian makanan, tapi makanan pertama di selatan Afrika ini mengandung kesan tersendiri, apalagi angin siang itu menyapu-nyapu pori-pori dengan lembutnya. Rasanya ingin segera tidur setiba di rumah nanti. Di rumah kepala kanselarai KJRI Cape Town, Shinta Hapsari, kami disambut dengan sangat ramah dengan pelayanan yang menyenangkan, termasuk berbagi cerita dengan suaminya, KH. Aas Subarkah, seorang tokoh Muslim Indonesia lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir.
Syekh Yusuf: inspirator agama dan kemerdekaan Afsel
Kami juga sempat mampir ke desa Macasar, tempat dimana Syekh Yusuf dikebumikan. Makamnya berada di atas bukit. Di sebelah kanan pintu masuk makam ada rumah masyarakat, sedangkan sebelah kiri, depan dan belakang pintu masuk tidak ada rumah. Tak jauh dari lokasi tersebut adalah Teluk False (False Bay) yang terhubung langsung dengan Samudra Atlantik Selatan.
Di situ kami berdialog dengan seorang ibu penjaga makam. Beliau bercerita bahwa hal penting dari perjuangan Syekh Yusuf adalah pentingnya mengikuti Al-Qur’an. Artinya, mengikuti Al-Qur’an merupakan kunci untuk menjadi Muslim yang baik. Di sebuah tugu sebelah kanan pintu masuk kita juga dapat melihat gambar Al-Qur’an selain gambar kapal yang membawa Syekh Yusuf. Pada dinding kanan makam ada prasasti terkait kunjungan Presiden Soeharto pada 21 November 1997 untuk memberikan penghormatan terhadap Syekh Yusuf yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 7 Agustus 1995 dan pada tahun 2005 Presiden Afrika Selatan Oliver Reginald Thambo menganugerahi beliau dengan the Order of the Companions of OR Tambo in Gold. Selain Pak Harto, Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah ke sini. Masjid yang ada di sekitar makam diresmikan oleh Wapres Jusuf Kalla yang merupakan keturunan dari Bugis.
Syekh Yusuf adalah sosok kharismatik. Ia tidak hanya dikenal sebagai ulama besar, tapi juga wali dan pejuang anti-kolonialisme. Gelar ‘syekh’ dan ‘tajul khalwati’ yang melekat padanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang mursyid atau pemimpin tarekat Khalwatiyah yang mencapai derajat sufi atau wali. Bahkan, beliau juga disebut dalam bahasa Makassar sebagai ‘tuanta salamaka’ atau ‘pembawa berkah dari Gowa/guru kami yang agung dari Gowa.’ Syekh Yusuf diasingkan Belanda ke Ceylon (kini Sri Lanka) pada 1684 selama 10 tahun. Oleh karena ia memberikan pengaruh pada jama’ah haji Indonesia yang mampir ke Sri Lanka, maka ia kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih jauh, yaitu Cape Town pada 1694. Lima tahun di Cape Town, beliau kemudian wafat pada 23 Mei 1699 dengan meninggalkan pengaruh yang besar bagi umat Islam di kota tersebut.
Di antara hal penting yang perkataan Syekh Yusuf adalah dalam kitabnya Sirrul Asrar. Mengutip Nur Ahmad (alif.id, 21/5/2020), bahwa Syekh Yusuf berpesan bahwa lebih baik seorang yang merupakan pemula dalam perjalanan menempuh pembersihan diri untuk melakukan zikir laa ilaha illallah sebanyak-banyaknya. Syekh Yusuf menyebutkan sehari semalam sebanyak sepuluh ribu kali. “Tujuannya adalah agar anggota tubuh seseorang, termasuk tulang-tulang dan urat-urat yang ada di tubuhnya “tercampur” dengan zikir-zikir itu,” lanjut Nur Ahmad.
Menurut saya, kita patut belajar banyak perjuangan Syekh Yusuf. Pertama, semangat mencari ilmu. Syekh Yusuf pernah belajar Islam di Banten, Aceh, Gurajat (India), Yaman, Haramain (Mekkah dan Madinah), dan Damaskus dalam masa 20 tahun (1646-1667). Berbagai tarekat pernah ia pelajari dan mendapatkan ijazah seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Ba’alawiyah, dan Syattariyah, termasuk belajar tarekat tanpa mendapatkan ijazah pada tarekat Dasuqiyah, Syadziliyyah, dan Rifa’iyyah. Kedua, semangat mengajarkan ilmu. Sebelum kembali ke Indonesia, Syekh Yusuf pernah mengajar selama lima tahun di Masjidil Haram, Mekkah. Di Cape Town, pengamalan zikir Ratib Al-Haddad adalah ajaran dari Syekh Yusuf.
Tuan Guru Abdullah: pendiri masjid dan madrasah pertama di Afsel
Ziarah makam tidak lengkap jika tidak ke makam Tuan Guru Abdullah (1712-1807) dari Tidore. Tuan Guru sangat spesial sebab berasal dari Tidore, sebuah pulau dimana Abdul Kadir Ali mengajar di Universitas Nuku yang juga berdekatan dengan tempat saya mengajar, yakni Universitas Khairun, Ternate. Nuku dan Khairun adalah nama sultan masyhur dari Tidore dan Ternate yang diabadikan jadi nama universitas. Di makam Tuan Guru, kami bercerita dengan penjaga makam, terutama hal-hal mistik yang ia ketahui atau bahkan alami sebagai penjaga makam.
Beliau bercerita misalnya, pernah ia masuk ke kuburan dengan mengucapkan salam ‘Assalamu ‘Alaikum’, kemudian terdengar dari dalam makam jawaban ‘Wa’alaikumsalam’. Dari atas kuburan tersebut juga pernah ada cahaya yang menjulang ke langit. Selain itu, pernah ada sekawanan burung yang mengitari kuburan tersebut—semacam bertasbih dan menghormati kuburan itu. “Waktu Nelson Mandela keluar dari penjara, tempat pertama yang ia datangi adalah di Tana Baru, yakni kuburan Tuan Guru,” kata beliau. Konon, kata beliau, saat di penjara, Mandela pernah bertemu dengan sosok Tuan Guru yang juga pernah dipenjara di lokasi penjara yang sama di Robben Island, tak jauh dari kota Cape Town.
Elaborasi sosok Tuan Guru termasuk hal menarik bagi kami. Menurut silsilah, beliau adalah keturunan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Kakeknya berhijrah dari Cirebon ke Ternate dan berdakwah di Tidore; diangkat sebagai Qadhi, semacam ‘menteri agama’ atau otoritas agama, begitu juga ayahnya, Abdussalam yang juga menjadi Qadhi. Menurut Abdul Kadir Ali, berdasarkan diskusinya dengan pihak keturunan Tuan Guru di Tidore, didapatkan informasi bahwa Tuan Guru ditangkap di Pulau Halmahera saat melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian dia diasingkan ke Batavia (sekarang Jakarta) dan kemudian ke Cape Town. Menggunakan kapal Zeepard milik kuasa dagang Belanda pada 1780. Saat diasingkan, usia Tuan Guru adalah 68 tahun. Pengasingan Tuan Guru salah satunya untuk menghalangi interaksinya dengan Inggris yang merupakan musuh Belanda di masa itu.
Di Cape Town, Tuan Guru sempat dua kali mendekam di penjara Robben Island. Di penjara itulah dia menulis kitab suci Al-Qur’an sebanyak 6 copy untuk menjawab kebutuhan umat Islam saat itu yang tidak memiliki kitab suci. Selain itu, beliau juga menulis compendium, semacam kumpulan karangan terkait Islam, yang oleh beberapa penulis disebut berjudul Ma’rifatul Iman wal Islam setebal 613 halaman. Kitab tersebut adalah referensi pembelajaran Islam pada masanya. Setelah keluar penjara, ia tidak kembali ke Tidore.
Sebaliknya, ia mendirikan masjid pertama, bernama Masjid Al-Awwal dan madrasah pertama di masjid tersebut. Dari cerita itu, saya berpandangan bahwa Tuan Guru telah menjawab problematika zamannya, sebuah kontribusi penting bagi masyarakat tempatan. Mandela termasuk orang yang terinspirasi dari Tuan Guru. Dalam konteks outstanding universal value, Tuan Guru telah menunjukkan masterpiece jenis kreatif manusia yang berdampak bagi Afsel dan Indonesia hingga akhir hayatnya di usia 95 tahun. Sebagai tambahan, sekolah tersebut sangat terkenal di masanya di kalangan budak dan non-budak, bahkan sekolah tersebut telah melahirkan ulama Afsel seperti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Achmad van Bengalen, dan Imam Hadjie. Muridnya saat itu mencapai 375 orang.
Di Masjid Al-Awwal, kami menunaikan shalat ashar berjamaah, dan mengikuti wirid bakda shalat. Setelah itu, saya menyampaikan taushiyah singkat kepada santri-santri ‘sekolah sore’ di masjid tersebut. Diantara yang saya sampaikan adalah pentingnya mereka belajar yang rajin dan kelak menjadi ulama dan tokoh bangsa, kemudian menjalin kerja sama dengan berbagai tokoh di Indonesia. Mereka harus mengikuti jejak Tuan Guru, sang pendiri masjid yang tidak hanya menjadi ulama tapi juga menjadi pejuang.
Saya juga berpesan kepada anak-anak untuk mengamalkan hadis Nabi Muhammad SAW: Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak cucu Adam wafat maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR Muslim). Secara pribadi saya berharap semoga kelak mereka dapat menjadi ulama dan tokoh bangsa yang membawa Cape Town dan Afsel menjadi negara yang makin maju dan sejahtera, serta dapat menjalin kemitraan internasional yang ekstensif dengan berbagai negara. Waktu berkunjung ke markas besar PBB di New York tahun 2019, setelah menghadiri kegiatan U.S. Professional Fellow di Washington, D.C. dan Pittsburgh, saya bertemu dengan beberapa pejabat dari benua Afrika. Setelah bertemu anak-anak di Masjid Al-Awwal tersebut, saya membayangkan sekaligus mendoakan semoga kelak mereka menjadi ulama atau pejabat negara yang dapat membangun bangsanya sekaligus menjadi pemimpin dunia dengan sinergi dan kolaborasi dengan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Sayyid Malik: ulama, dokter dan pejuang asal Batavia
Kami berziarah ke Vredehoek kramat, yakni ke makam Sayyid Malik di Jalan Upper Buitenkant, dekat sekolah St. Cyprians, Vredehoek. Sayyid Malik dikenal sebagai ulama, dokter, dan pejuang. Di dalam makam tersebut tertulis: “Kramat/Mazaar of Sayed Abdul Malick R.A.” Di bawahnya tertulis: “In memory of Sayed Abdul Malick, born in Batavia, 3rd May 1483, died in Cape Town 21st Sept 1658.” Namun di bawahnya tertulis data yang salah, menurut Syekh Owaisi dari IPSA, sebab tertulis kehadirannya bersama Syekh Yusuf, yakni tertulis “Arrived at the Cape in the Voetboog with Prince Yusuf,” padahal yang benar bersama Tuan Guru. Sayyid Abdul Malik bersama dengan Tuan Guru menjadi pelopor yang pertama kali mendirikan masjid di Afrika Selatan. Kedekatannya dengan Tuan Guru karena dirinya juga merupakan orang kepercayaan Tuan Guru.
Kuburan tersebut ditutupi oleh kain berwana merah yang berada di atas sebuah bangunan kuburan sekitar setengah meter. Di dinding atas terpajang kaligrafi Allah di kanan dan Muhammad di kiri, sedangkan di bawahnya terdapat sebuah kubah berwana hijau di atas dua jendela terbuka. Menggunakan kaos biru dongker dan training bertuliskan ‘air’, sang penjaga makam asal Yaman, Bapak Adnan, menjelaskan bahwa makam tersebut pernah menjadi tempat tinggal orang yang homeless dan meminum minuman keras di sekitar makam.
Masyarakat menghormati beliau karena jasanya dalam penyebaran Islam, kata beliau. Lelaki berjenggot dan bercincin di jari manis kanan tersebut menceritakan bahwa Sayyid Malik tiba di Cape dari Batavia seb