Pro Kontra Pengesahan RKUHP, KAMMI Makassar Tolak Pasal Karet

MAKASSAR, – Pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai pro kontra di tengah-tengah publik. Tak sedikit kelompok masyarakat yang menolak karena dinilai mengandung pasal-pasal kontroversial.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam sidang paripurna mengesahkan rancangan undang-undang tersebut pada 6 Desember 2022.

Menanggapi hal tersebut, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Makassar meminta DPR RI agar segera mencabut pasal-pasal karet, Minggu, 1 Januari 2023.

“Kami menilai ada progres yang baik dari DPR dan pemerintah dalam pengesahan RKUHP ini. Namun, banyak hal yang perlu dicermati dengan baik dan teliti kembali,” ujar Muh Imran Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Makassar dalam ‘Dialog Kebijakan Publik’ di Sekretariat KAMMI Makassar.

“Kami minta pasal-pasal karet dan pasal-pasal yang bermasalah agar segera ditinjau kembali,” terangnya.

Di antara pasal yang dinilai bermasalah adalah pasal soal penghinaan kepada Presiden/ Wakil Presiden dan lembaga negara karena disinyalir akan mempersempit ruang kebebasan berpendapat.

“Delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini sebenarnya pernah diujicobakan dan diputus oleh MK berdasarkan putusan 013-022/puu-iv/2006. Alasannya karena dianggap inkonstitusional dan bertentangan dengan UUD 1945,” papar Resmi Safitri Alumnus Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin.

“Ini juga dapat mempersempit ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi kita dalam alam demokrasi,” tegasnya.

Selain itu, pasal lainnya yang disorot oleh KAMMI Daerah Makassar adalah pasal soal tindak pidana korupsi.

Menurut Resmi Safitri, pasal 603 dan 604 yang merupakan pasal tindak pidana korupsi disharmoni dengan produk hukum yang lebih khusus yaitu UU Tipikor karena dalam hukum pidana berlaku asas lex posterior derogat legi priori. Maka sebaiknya KUHP konsisten dengan ketentuan peraturan yang telah ada sebelumnya.

“Pasal ini tidak selaras dengan pasal yang tertera dalam UU Tipikor. Karena asas hukumnya mengatakan lex posterior derogat legi priori. Artinya, peraturan yang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama,” jelasnya.

“Dalam UU Tipikor sanksi bagi pelaku korupsi dipidana selama paling singkat 4 tahun. Di KUHP baru ini cuman 2 tahun. Jadi, ada pengurangan sanksi,” urai Resmi.

Karena itu, sambungnya, tidak seharusnya hukuman bagi pelaku korupsi diringankan. Justru seharusnya diberi sanksi seberat-beratnya. []

Pos terkait

banner 300600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *