Guru Korban Pengeroyokan Jadi Terdakwa, Ketua Dewan Kehormatan Peradi Bereaksi

MAROS – Advokat senior di Makassar, Tadjuddin Rahman, menyoroti pemberian tuntutan kepada seorang guru di Maros yang dikeroyok mantan siswanya. Dia menilai tindakan aparat penegak hukum yang menjadikan korban pengeroyokan sebagai terdakwa adalah penzaliman.

“Kalau perkara yang subjeknya sama tidak bisa diulang dua kali. Tidak benar ini barang, ini namanya penzaliman,” kata Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Makassar itu, Rabu, 30 Agustus 2023.

Seorang pembina dan pengajar salah satu pesantren di Kabupaten Maros bernama Mujawwid A Marzuki dituntut 8 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Maros. Hal tersebut memantik kontroversi. Sebab sebelumnya, lima pelaku pengeroyokan terhadap Mujawwid, telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Maros dengan vonis kurungan 2 bulan. Mereka adalah Syukran, Mukhlis, Muhammad Zaid N, Ijtaba Tahir, dan Syaripunding. Beberapa di antaranya adalah mantan santri Mujawwid.

Belakangan, untuk peristiwa yang sama, Syukran, salah satu dari pelaku pun melaporkan Mujawwid ke Polres Maros dengan alasan juga terkena pukulan. Laporan yang diproses relatif cepat dan Senin, 4 September 2023 mendatang bahkan sudah memasuki sidang putusan.

Tadjuddin mempertanyakan logika hukum dari jaksa dan aparat kepolisian menjadikan guru korban penganiayaan jadi terdakwa. Kelima pelaku telah dihukum bersalah oleh pengadilan sebelumnya. Namun korban kini balik dijadikan terdakwa.

“Jadi penganiayaan oleh lebih dari satu orang dan terbukti bahwa pelaku terdiri beberapa orang sudah dihukum menganiaya satu orang. Berarti korban yang satu orang itu, hukumnya begitu,” kata Tadjuddin lagi.

Dia menegaskan, korban itu satu orang melawan banyak orang, maka ia bertindak membela diri. “Bagaimana logikanya berkelahi kalau satu lawan banyak orang. Logikanya satu dipukul lima orang. Kalau membalas kan hanya membela diri bukan karena menyerang orang, bukan disebut penganiayaan karena dikeroyok,” timpalnya.

Tadjuddin juga menyoroti hukuman kepada lima pelaku sebelumnya menggunakan pasal 351 KUHP. Pelaku pengeroyokan lebih dari satu, maka seharusnya dikenakan pasal 170 KUHP.

“Saya lihat amar putusannya itu 351, jadi penerapannya sudah salah karena menerapkan penganiayaan biasa. Ini bukan 1 vs 1,” kata Tadjuddin.

“Di situ terdakwa dihukum 2 bulan karena terbutki secara sah menganiaya bersama-sama. Dengan demikian si korban tidak mungkin dibalik jadi pelaku lagi karena sudah jadi korban,” kata Tadjuddin.

Tadjuddin berharap keanehan itu tidak dilanjutkan di pengadilan. “Hukum di Indonesia tidak boleh dikasih begini. Hukum tidak bisa ditegakkan berdasarkan selera penegak hukum,” ucapnya.

Menurutnya, hukum pidana lahir dari semangat memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dari penguasa.

“Penegak hukum tugasnya menegakkan hukum agar rakyat dilindungi. Kalau di Maros korban jadi terdakwa di mana belajar ilmu hukum korban dijadiakn terdakwa. Ini barang tidak benar,” tegasnya.

“Saya melihat ini namanya hukum dijadikan alat untuk menzalimi orang. Itu tidak benar. Tujuan hukum itu kepastian keadilan dan kemanfaatan,” kata Tadjuddin. (*)

Pos terkait

banner 300600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *