MAKASSAR,- Sebagai aktivis, pelaku, penggagas, penggerak, motivator dan penulis, perlu meluruskan arah perjuangan Gerakan Membaca dan Menulis di Indonesia. Ada kekeliruan yang selama ini kita lakukan secara memassal yaitu hanya menggerakkan budaya membaca, tapi meninggalkan gerakan menulis. Akibatnya, asa otak kiri dan otak kanan kita tak seimbang, sementara masyarakat hanya didorong terus menerus untuk membaca. Padahal penting, mendorong kedua-duanya yaitu membangun ekosistem budaya membaca dan budaya menulis. Benarlah, kata Pennebaker, salah seorang psikolog terkemuka, menegaskan kalau budaya membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan, keduanya seperti mata uang.
Jujur, penulis setiap turun ke sekolah, kampus, perpustakaan, perpustakaan desa, lorong, komunitas, sebagian besar mereka menyampaikan keluhannya, “ kurang buku-buku bermutu”. Sementara kampanye membaca terus digerakkan, pada sisi lain budaya menulis belum menjadi sebuah eksostem yang produktif. Inilah kesalahan strategi gerakan membaca di Indonesia yaitu hanya bertumpuh pada arena panggung seremoni, kampanye dan berbagai program membaca dan literasi, namun enggan memikirkan persoalan pelik, kurangnya buku-buku berakses bermutu ditemukan di setiap ruang baca.
Berikut Pertanyaan, apa jalan keluarnya? Penulis beberapa tahun terakhir ini terus menerus mendorong tumbuhnya budaya membaca plus menulis di kalangan guru-guru, pustakawan, siswa-siswi dan tokoh-tokoh masyarakat di Indonesia. Adapun tujuannya, dengan menggugat budaya membaca dan menulis bagi pustakawan, guru, dan tokoh serta siswa siswi akan menjadi terapi jalan keluar kurangnya buku-buku di setiap perpustakaan.
Mengapa buku-buku bermutu kurang? Salah satu penyebabnya, kurangnya penulis yang tumbuh dan berkembang. Selain karena kurang akses informasi pendidikan, pelatihan atau workshop khusus yang mencetak para penulis profesional, juga gairah dan budaya membaca belum tumbuh menjadi industri membaca di kalangan masyarakat. Efeknya, efek domino, banyak hal hal terkait. Selain perhatian Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota belum care total akan tumbuhnya industri menulis di tengah-tengah masyarakat, profesi menulis masih sebatas hobi atau pelarian.
Akhirnya, penulis memutuskan terus menerus menggerakkan budaya membaca dan menulis. Caranya, dengan menggelar workshop menulis buku bagi para siswa, guru dan pustakawan secara free. Selain mendorong para Bupati, Politisi yang memiliki kepedulian tinggi tumbuhnya budaya menulis di Indonesia. Misalnya saja, penulis atas dukungan Ketua Fraksi PPP DPR RI Dr. H.M. Amir Uskara, penulis menggelar Lomba Guru Menulis Sulsel. Ujungnya, hasil tulisan para peserta diterbitkan menjadi sebuah buku yang indah. Inilah salah satu bukti nyata mendorong Guru, Pustakawan menulis buku dengan memberikan praktek dan ruang laboratorium. Hemat penulis, menulis tak hanya dibicarakan di forum-forum resmi, tapi dikerjakan dan dibuktikan dengan sebuah tulisan.
Gerakan Nasional Guru, Pustakawan Menulis Satu Buku untuk Indonesia telah menjadi ruang dan wadah mendorong para guru, pustakawan di Indonesia untuk menulis buku, demi memenuhi keterbatasan hadirnya buku-buku bermutu. Apa saja buktinya? Sekolah Menulis Maros Keren yang digerakkan Bupati Maros telah berhasil mendorong guru menulis buku di Kabupataten Maros, pada 2021 dan pada 2022 Kadis Pendidikan Maros Ir. Takdir, M.Si. kemudian mengadopsi program Sekolah Menulis Maros Keren menjadi program Dinas Pendidikan Kabupaten Maros pada 2022 dan melahirnya 50 judul buku dan 50 guru menulis di Maros. Gema Athirah yang berhasil mendorong 23 guru menulis buku atas bimbingan utama penulis(2021-2022), Pustakawan Sulsel Menulis Buku yang telah berhasil menulis dan menerbitkan buku(2022), Sekolah Islam terpadu Nurul Fikri yang telah berhasil mendorong siswa-siswi kelas VI SD, SMP dan Guru-gurunya melahirkan buku, Workshop Nasional Ika BKPRMI menulis Buku juga telah berhasil melahirkan buku karya Puisi Fauzi Nangjoe, (2022).