Kearifan dari Tanah Mandar

Oleh Yanuardi Syukur

Adalah sebuah keberuntungan dapat menginjakkan kaki di tanah Mandar, tepatnya di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Sejak 1-3 Agustus 2023 saya datang, ngobrol, dan berkunjung ke destinasi budaya dan religi di Majene. Thamrin Uwai Randang, seorang aktivis literasi berdedikasi, pendiri Rumah Baca dan Museum Naskah “I Manggewilu”, Majene, yang telah menemani sepanjang perjalanan ke destinasi tersebut yang sarat dengan penjelasan historis.

Ini adalah kali keempat saya ke Sulawesi Barat. Pertama kali saat diundang jadi pembedah novel yang lagi hangat ‘Ayat-ayat Cinta’ karya Habiburrahman El Shirazy di gedung KNPI yang terletak di sebuah sudut jalan poros. Sejak itu saya mulai dekat dengan Sulbar. Kali selanjutnya saat diundang jadi pembicara dan juri kegiatan Dinas Perpustakaan Mamuju. Kemudian, ke Polewali bertemu aktivis literasi dasar dari Mamasa, dan selanjutnya yang kemarin.

Selama perjalanan ke tanah Mandar, khususnya Majene dan Polewali saya melihat berbagai kearifan yang menarik. Berikut adalah beberapa hal–tentu masih banyak lainnya–yang dapat kita eksplorasi dari Majene.

  1. Pengetahuan Mendalam Soal Laut

Orang Mandar memiliki pengetahuan mendalam soal laut. Laut tidak ditakuti, tapi dijadikan teman untuk mencapai cita-cita. Ketika layar telah terkembang pantang biduk surut ke pantai; maknanya, laut dengan arus, angin, dan gelombangnya bukanlah halangan untuk mencapai tujuan. Justru itu menjadi inspirasi manusia untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Maknanya, masalah sangat mungkinlah adalah jalan keluar untuk mencapai sesuatu.

Pengetahuan tradisional orang Mandar setidaknya ada tiga: pertama ilmu kelautan, pengetahuan tentang perahu, dan pengetahuan tentang belayar. Ilmu kelautan meliputi apa saja yang perlu diketahui dalam ciptaan Tuhan bernama laut; atau nature-nya laut seperti apa, itu harus diketahui seorang pelaut. Mereka juga ahli dalam membuat perahu, bahkan jenis perahunya bervariasi. Kemudian, ilmu berlayar dengan segala terkait itu juga mutlak dimiliki seorang pelaut Mandar.

Tome Pires (1468-1540), seorang apoteker, colonial administrator dan diplomat Portugis menyebut orang Mandar sebagai pelaut ulung yang disebabkan oleh ketidaksuburan tanah mereka untuk cocok tanam. Wilayah pelayaran mereka hingga ke Maluku, Papua Nugini, Jawa, Sumatera, dan Australia (saat ini, diaspora orang Mandar bahkan telah hadir di berbagai negara di dunia). Perahu Sandeq adalah ikon orang Mandar, warisan zaman Austronesia. Perahu ini bisa mencapai 15-20 knot atau sekira 30-40 Km dalam kondisi angin yang baik.

Dari letak geografis, pengetahuan mendalam soal laut adalah warisan berharga dalam budaya Mandar. Jika melewati jalan poros ke Makassar atau Mamuju kita akan melihat betapa laut sangat dicintai oleh masyarakat. Dari Villa Bogor, sebuah hotel di ketinggian, kita bisa melihat Majene yang teramat dekat dengan pantai. Rumah-rumah yang berdiri dekat-dekatan di sepanjang jalan menuju Kompleks Makam Raja-Raja Banggae awalnya tidak ada tapi kemudian ada sebagai bentuk keterikatan manusia dengan laut.

  1. Tegak Lurus pada Kebenaran

Salah satu sosok masyhur dari tanah Mandar adalah Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa (27 Agustus 1935 – 3 Juli 2001). Pak Lopa adalah sosok ‘manusia Mandar’ yang tegak lurus pada kebenaran. Istilahnya, pikiran dan tindakannya tidak bengkok-bengkok. Maka, wajar sampai sekarang orang mengagumi keistiqamah beliau, bahkan merindukan sosok beliau yang tegas, sederhana, dan punya marwah. Beliau pernah menjadi Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001.

Diceritakan bahwa Pak Lopa pernah diberikan mobil baru, tapi ia menolak. Ia justru ingin membeli mobil tersebut dengan cicilan dari uang gajinya sendiri. Jika dipikir-pikir, tidak mudah bisa jadi orang seperti beliau; apalagi pemberian adalah sesuatu yang manusiawi, normal dalam pergaulan sosial. Beliau memilih untuk tidak tergantung dengan orang lain, menjadi pribadi merdeka.

Karakter tegak lurus ini juga menjadi syarat bagi calon raja. Sebagai contoh, untuk menjadi raja (mara’dia) di Kerajaan Sendana, salah satu kerajaan dalam 14 konfederasi Mandar, seseorang harus memiliki moral yang baik, teguh pendirian, konsisten, adil, jujur, kuat jiwa dan raga, bijaksana, dan berani di atas kebenaran. Darmansyah dalam ‘Sendana: Kerajaan Maritim Bercorak Islam’ (2019) menulis, “…selain berakhlak mulia, tegas dan jujur…[seorang calon raja] juga luas-dalam ilmunya, utamanya ilmu yang menyebabkan takut kepada Allah.

Ketika seseorang terpilih menjadi raja Sendana, maka dia akan menyampaikan kata-kata sumpah yang dipandu seorang tokoh adat yang terjemahannya sebagai berikut:

“Kami besarkan engkau
Hargailah juga kami
Gunung dalam tanggungjawabmu
Dataran dalam tanggungjawabmu
Laut dalam tanggungjawabmu
Rakyat dalam tanggungjawabmu
Sesuai adat kebiasaan
Dalam satu hari
Engkau berada di dalam
Dan juga berada di luar.”

Janji ini menunjukkan bahwa seorang raja haruslah tegak lurus dan takut kepada Allah, dan bertanggungjawab kepada alam dan rakyatnya. Nature dan culture, dua hal penting dalam peradaban manusia harus dijaga secara seimbang. Seorang pemimpin bahwa harus bisa hadir ‘di dalam’ maupun ‘di luar’; hidupnya untuk berkhidmah bagi orang banyak. Itulah yang ditunjukkan sosok Pak Lopa sebagai salah satu tokoh dari tanah Mandar. Menjelang pemilu 2024, para calon pemimpin–yang saat ini wajahnya muncul di berbagai sudut kota–perlu mendalami karakter arif bijaksana tersebut sebagai bekal penting saat memimpin nanti.

  1. Tanah Religius

Saat berkunjung ke Museum Mandar Majene saya melihat Al Qur’an terjemahan Bahasa Indonesia-Majene yang dicetak di Madinah Al Munawwarah. Penerjemahnya Muh Idham Khalid Bodi, pentashih-nya Drs. KH. Abdul Rahman Halim, Husni Djamaluddin, Dr. KH. Syahbuddin, Drs. H. Ahmad Sahur, MA, dan Drs. Suradi Yasil. Awalnya diterbitkan oleh Yayasan Menara Ilmu (‘memperbaiki nasib rakyat dengan ilmu’) dengan bantuan Pemda Majene 2001.

Thamrin Uwai Randang, aktivis literasi Majene bercerita bahwa budayawan Emha Ainun Nadjib menyebut Mandar sebagai tanah religius, sebuah kawasan yang sarat dengan religiusitas. Siapa yang ingin belajar religi, maka pergilah ke Mandar, kira-kira seperti itu. Di Museum Mandar Majene ada beberapa tokoh agama, ulama Mandar yang tidak hanya belajar di Sulsel tapi juga di tanah Jawa sampai ke Arab.

Satu hal yang cukup penting terkait ini adalah bagaimana agar budaya religius itu dapat terus terjaga, terwariskan, serta dapat memberi nilai tambah pada ekonomi. Misalnya, destinasi wisata religi yang ada, sebutlah Makam Syekh Abd. Mannan dapat dikelola sedemikian rupa agar mendatangkan banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri. Tentu saja selain event tahunan yang telah dilakukan. Mungkin, membawa koneksi antara ‘dunia Mandar’ dengan ‘dunia luar-Mandar’ sebuah satu kesatuan cukup bagus untuk menjadi daya tarik datangnya wisatawan.

Terkait wisata, beberapa minggu saya berkunjung ke Kawah Ijen, Banyuwangi. Kawah ini awalnya sudah dikenal, namun menjadi daya tarik wisata secara massif setelah kedatangan dua turis asal Perancis, Nicolaus Hulot dan istrinya Katia Kraft pada 1971. Kedua ‘influencer’–kita sebut seperti itu–menulis kisah pesona Kawah Ijen beserta kerasnya kehidupan penambang bongkahan belerang di majalah Geo, Perancis. Sejak itu, kawasan jadi destinasi banyak wisatawan. “Bulan Juli biasanya banyak turis dari Eropa karena mereka lagi liburan,” kata seorang driver ‘taksi tarik & dorong’ kepada saya.

Berarti, mengundang wisatawan atau influencer agar merekam, menulis, memublikasikan Mandar adalah bagian penting dari promosi wisata. Sejauh ini, banyak studi yang membahas tentang Mandar. Studi-studi tersebut ada baiknya untuk diturunkan dalam bentuk yang lebih sederhana dalam berbagai platform yang ramah netizen, seperti Instagram dan TikTok. Dua orang siswa di Sendana, sekira 1 jam naik mobil dari Majene, menyampaikan kepada saya bahwa mereka pakai Instagram dan TikTok. Artinya, internalisasi nilai budaya Mandar dapat dilakukan via dua media tersebut–selain media lainnya tentu saja–sekaligus untuk promosi orang luar yang hendak wisata ke sini.

  1. Persahabatan sebagai Basis Keteraturan Sosial

Berbagai studi antropologi persahabatan menunjukkan bahwa persahabatan adalah basis penting dalam integrasi sosial. Sebaliknya, retaknya persahabatan dapat berdampak serius pada disintegrasi sosial. Maka, bersahabat adalah kunci untuk menciptakan keteraturan, bahkan kemakmuran bersama.

Orang Mandar memahami pentingnya persahabatan di tingkat elite melalui perjanjian bersama (assitalliang) konferedesi 14 kerajaaan; 7 di Pitu Ulunna Salu dan 7 di Pitu Ba’bana Binanga; kolaborasi antara pesisir dan daratan. Afiat Mulwan, dalam ‘Sipamandar dan Loa Tomatua’ (2022)–sebuah antologi bersama Bustan Basir Maras, Ahmad Akbar, Mohammad Fahmy, Abd. Rahman Hamid, Wahyudi Hamarong, Busra Basir MR, dan Muhammad Irfan–menulis, “…kerajaan-kerajaan yang bersatu dan menjalin kerjasama, maka jika satu membangunkan, semua akan terjaga. Jika salah satunya tersakiti, semua akan menderita.”

Dalam konteks lebih luas, keindonesiaan kita adalah bagian dari ikatan persahabatan antaretnik, afiliasi, agama, dan sebagainya yang menguatkan bangsa Indonesia. Ikatan persahabatan itu perlu dijaga untuk menciptakan integrasi dan kemakmuran bersama. Artinya, persahabatan dalam konteks kecil–antarorang, antarkeluarga, antarkomunitas–hingga dalam konteks besar–antaretnik, antarprovinsi, antarlembaga nasional–perlulah memiliki dampak pada kemakmuran bersama.

  1. Pewarisan Budaya Menulis

Kekayaan tradisi Mandar menarik untuk ditulis. Telah banyak menulis yang membahas terkait Mandar, seperti Muhammad Ridwan Alimuddin yang menulis ‘Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman’ (KPG, 2005), Abd. Rahman Hamid berjudul ‘Jaringan Maritim Mandar: Studi tentang Pelabuhan “kembar” Pambauwang dan Majene di Selat Makassar, 1900-1980’ (Ombak, 2021).

Karya lainnya, seperti ‘Sipamandar & loa Tomatua: Kontekstualisasi Nilai Sipamandar dalam Petuah Leluhur Mandar’ (Bustan Basir Maras, ed., 2022), ‘Pendekatan Budaya Mandar’ Ibrahim Abbas (2015) dan ‘Sendana: Kerajaan Maritim Bercorak Islam’ karya Darmansyah (2019) adalah bagian dari pemerkaya studi terkait Mandar, dari sekian banyak studi lainnya.

Dalam bincang literasi ‘Membumikan Literasi Menulis di Tanah Mandar’ yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena Sulawesi Barat, Rumah Produktif Indonesia, dan Universitas Sulawesi Barat di T-Bink Cafe dan Pustaka (Rabu, 2 Agustus 2023) diperoleh kesimpulan pentingnya menghidupkan tradisi literasi di kalangan anak muda di Majene dan sekitarnya. Bahwa kekayaan budaya perlu dieksplorasi lebih mendalam dan dikemas dalam berbagai bentuk terkini. Misalnya, pembuatan konten destinasi religi dan budaya yang disebar dalam berbagai platform media sosial, atau penulisan buku secara lebih massif terkait ‘dunia Mandar.’

  1. Menjadi Orang Mulia

Manusia adalah makhluk mulia. Ibrahim Abbas dalam ‘Pendekatan Budaya Mandar’ (2015: 172), menulis bahwa dalam budaya Mandar, ada sebuah kalimat bijaksana sebagai berikut:
“Jika jika kita mau menjadi orang mulai dan terhormat, marilah kita perbaiki tutur kata dan perilaku. Sebab, kata-kata dan perilaku jualah yang disebut manusia. Karena itu yang dinilai orang lain.”

Manusia, kata-katanya dipegang: Tau paunna nituqgalang.
Hewan, talinya dipegang: Oloq-oloq gulanna nituqgalang.

Menjadi orang mulia mensyaratkan satu sikap: “saling menjadikan manusia atau saling memanusiakan” atau “sipattau.” Tau artinya ‘orang’, sipa artinya “saling menjadikan.”

Seorang ulama besar Minangkabau dan Ketua Umum MUI pertama (26 Juli 1975-19 Mei 1981; 5 tahun, 297 hari), Buya Hamka memiliki pengalaman berharga dengan Mandar. Novelnya ‘Tenggelamnya Kapal Van der Wijck’ ditulis tak lama setelah ia dua kali berkunjung ke Mandar; pada 1932 beliau ke Majene, Balanipa, Polewali, Pambuang, dan Pambusuang, dan pada 1934 beliau membawa anak-anak muda Mandar berlayar ke Padang: Abdus Syukur bin Abdurrahim, Abdurraman, Abdurrahim (selanjutnya tinggal di Singapura), dan menyusul Ustadz Zainal Abidin (kelak jadi kepala kantor agama di Mandar).

Pada 28 Februari 1970, Hamka menerima sarung Mandar asli yang sangat berharga dari Mahmud Ahmad, seorang anggota Pimpinan Muhammadiyah Wonomulyo, Polewali, dan menulis sebagai berikut:

“…bagi kami orang Minangkabau, kain Mandar adalah kain adat. Menurut nenek moyang kami, kalau di sebuah rumah atau keluarga tidak ada kain Mandar, walaupun satu helai, merasa sangat kekuranganlah dari segi adat. Sebab kain Mandar adalah pakaian penganten seketika pulang ke rumah penganten perempuan. Kain Mandar pakaian pengulu (datuk-datuk kepala adat) ketika mereka pergi ke tempat pertemuan umum.”

Hamka ke Makassar atas permintaan Pimpinan Muhammadiyah Cabang Makassar dengan tugas khusus: membangkitkan semangat rakyat menjelang Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Mengutip Muh Ihsan Haharap (Tribunnews, 7 Agustus 2015), Mustari Bosra menulis, “setiap hari tidak kurang dari 5000 orang yang menonton dari luar arena kongres, menandakan antusias masyarakat untuk mengenal lebih dekat organisasi ini. Total sebanyak 4 cabang dan 39 grup terbentuk setahun setelah kongres ini, dimana sebelumnya hanya ada 2 cabang dan 15 grup. Jumlah sekolah dan masjid pun mengalami perkembangan yang sangat pesat.”

Pimpinan Muhammadiyah Makassar memanfaatkan kehadiran Hamka. Setelah kongres terlaksana, kemudian didirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Muallimin di Makassar, dan dua tahun kemudian (1934) didirikan MTs di Majene. Untuk sekolah MTs di Makassar, Hamka bertindak sebagai kepala sekolahnya yang pertama. Masih dari tulisan Mustari Bosra (2008) yang dikutip Muh Ihsan Harahap, ditulis sebagai berikut:

“Menurut laporan Konsul Muhammadiyah Sulawesi pada Konferensi ke-16 tahun 1941 di Sengkang, Muhammadiyah Sulawesi Selatan memiliki 6 cabang dan 76 grup berisi 7000 orang, kurang lebih 30.000 orang simpatisan, masjid dan mushalla 41 buah, Sekolah Diniyah (setingkat sekolah dasar/SD) sebanyak 52 buah, Sekolah HIS sebanyak 4 buah, guru sebanyak 79 orang dan murid kurang lebih 5000 orang.”
Artinya, keberangkatan ‘anak-anak muda Mandar’ berlayar ke Padang adalah bagian dari penguatan dakwah dan institusi pendidikan yang telah didirikan di Majene pada 1934 tersebut. Kelak, sepulang dari Padang diharapkan mereka dapat memperkuat dakwah Islam di Majene. Mendukung kader-kader muda adalah bagian penting dari kaderisasi dakwah Islam sekaligus untuk membangun daerah.

Terminal 3 CGK, Jum’at, 4 Agustus 2023

Terima kasih atas silaturahmi dan obrolan dengan: Thamrin Uwai Randang, Ahmad Akbar, Andi Ismira (dan suami), Khalil Nurul Islam, Ibu Murti KS, Pak Nardi, Pak Suddin, Pak Masmudin, Pak Jalil dan Kepala Museum Mandar Majene selama saya berada di Majene. Juga terima kasih kepada Pak Adi Arwan Alimin Mandar dan Pak Uut Fauzan Gagah Katanya. Terkait salinan surat Buya Hamka, saya mengucapkan terima kasih kepada Pak Thamrin Uwai Randang. Tulisan ini adalah bagian dari upaya belajar lebih dalam kearifan dari tanah Mandar.

Pos terkait

banner 300600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *