Pendidikan merupakan salah satu upaya konkret untuk menanggulangi kebodohan dan kemiskinan yang terjadi. Dengan mengenyam bangku sekolah, orang bisa mengetahui berbagai hal yang ada di dunia ini. Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk megubah dunia, begitu ucap Nelson Mandela. Sayangnya di negara yang masih berkembang seperti Indonesia, banyak generasi muda yang mengubur mimpi karena biaya pendidikan yang makin tinggi.
Belakangan ini, terlepas dari berbagai dinamika yang ada, banyak pasang mata yang menyoroti adanya Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Adalah hal yang wajar ketika aturan tersebut menuia kritik dari berbagai pihak utamanya pelajar dan mahasiswa. Ini memberatkan dan tidak memperhatikan azas keadilan. Naasnya, pengelolaan pendidikan nasional hari ini seolah mengikuti mekanisme pasar. Tak heran, banyak perguruan tinggi yang justru berorientasi pada keuntungan ekonomi dan abai pada tujuan mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945.
Terlebih dalam pernyataan Mentri Pendidikan, Nadiem Makarim saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI menitikberatkan kenaikan UKT hanya berlaku untuk calon mahasiswa baru 2024. Ini adalah momok besar bagi pelajar yang ingin melanjutkan jenjang pendidilan di perguruan Tinggi. Utamanya terutama yang berstatus badan hukum atau PTNBH.
Bagi pelajar, ini adalah ancaman besar untuk meraih mimpi dan harapan di dunia pendidikan. Hal demikian dibuktikan dengan sejumlah calon mahasiswa baru (camaba) di beberapa perguruan tinggi negeri dilaporkan mengundurkan diri gara-gara tak sanggup membayar UKT. Penulis berkeyakinan selama aturan tersebut dipelihara oleh Kemendikbudristek, maka akan makin banyak camaba yang berguguran. Kita semakin jauh dari bonus demografi yang sering dipopulerkan.
Jika hal ini terus dibiarkan, tren kenaikan UKT tinggi ini akan berimplikasi terhadap tingkat partisipasi masyarakat atas pendidikan tinggi. Yang kita khawatirkan adalah keterbatasan masyarakat mengakses pendidikan tinggi akan berimbas terhadap bonus demografi yang kita miliki berubah menjadi bencana.
Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis meminta kepada Mendikbudristek untuk kembali memperhatikan dan mendengar segala keluhan dan protes terkait peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Jika tidak mampu menangani, lebih baik mundur sebagai Mentri.
Zul Jalali Wal Ikram (Ketua Umum Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Sulawesi Selatan)