Penulis baru saja membaca buku Membangun Generasi Aktif Literasi, karya Malahayati dan Peng Kheng Sun. Buku setebal 196 yang diterbitkan Gava Media pada 2023, penulis mengutip pernyataan Geoffrey Jukes, penulis The Russo Japanese war pada 1904-1905, menegaskan bahwa penentu hasil kemenangan itu, bukanlah teknologi, tetapi tingkat literasi. Karena itu, tak heran jika Jepang mampu menaklukkan Rusia pada perang Rusia dan Jepang pada 1904 dan Rusia kalah pada pertempuran laut di Selat Tsusshima, 27 Mei 1905.
Penyebabnya karena hanya 20 persen personel militer Rusia bisa membaca dan menulis. Ujungnya, banyak yang tak mampu mengoperasikan secara benar persenjataan moderen dan sistem telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan Rusia acapkali salah sasaran karena salah membaca peta dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi.
Karena itu, sejarah telah mencatat bahwa kemenangan yang gemilang dari tentara Jepang atas Rusia karena keampuhan membaca. Kemenangan inilah yang berhasil mengubah sejarah bahwa bangsa Asia ternyata mampu mengalahkan bangsa berkulit putih, Rusia.
Nah, keampuham membaca memiliki kekuatan yang luar biasa, selain individu atau bangsa yang mampu memanfaatkan keampuhan membaca memiliki peluang yang sangat besar untuk mengalahkan individu atau bangsa yang kurang memiliki dosis membaca. Sayangnya, bangsa Indonesia masih masuk dalam deretan bangsa yang kurang berbudaya gemar membaca. Akibatnya, dalam berbagai panggung kehidupan, Indonesia masih sulit bersaing dengan bangsa yang gemar membaca, semisal Singapura dan Malaysia, apalagi Jepang.Penulis hormat atas bangsa Jepang yang telah mampu membaca enam judul buku sebulan.
Benarlah, kata Mark Levy dalam bukunya Menjadi Genius dengan Menuis, menegaskan kalau aset fisik sudah ketinggalan zaman, aset tidak nyata memegang peranan penting. Membaca merupakan aset tidak nyata, tetapi memegang peranan penting dalam kehidupan kita.
Pertanyaannya, benarkah membaca bisa menjadi aset? Berkaca pada kemenangan tentara Jepang dari Rusia karena kemampuan Jepang memanfaatkan kemampuan membaca dengan empat aset. Pertama, aset informatif, tentara Jepang mampu membaca dengan baik, akibatnya ia mampu melakukan serangan yang tepat pada sasaran.
Kedua, membaca merupakan aset edukatif yaitu tentara Jepang mahir menggunakan persenjataan militer moderen dan memanfaatkan infrastruktur intelejen militer secara baik dan benar. Dengan kemampuan membaca, maka tentara Jepang telah mampu menuntut dan memahami cara melakukan berbagai hal sesuai dengan prinsip dan pola yang benar.
Ketiga, membaca merupakan aset aplikatif yaitu menerapkan apa yang kita baca. Misalnya tentara Jepang mampu menerapkan pengetahuan dari hasil membaca. Artinya, membaca memiliki keampuhan untuk diterapkan apa yang dibaca.
Keempat, membaca merupakan aset kreatif untuk berkreasi. Tentara Jepang mampu memodifikasi sistem telegraf nirkabel dari Jerman. Dan, sebaliknya, tentara Rusia belum mampu mengoperasikan sistem telegraf nirkabel dengan baik.
Akhirnya, tak ada kemenangan yang hakiki, tanpa dengan kemampuan membaca yang baik. Berkaca pada kemampuan Jepang yang telah mengabadikan pentingnya budaya membaca buku menjadi kekuatan ampuh mengalahkan senjata teknologi dan kekuatan lawan yang begitu moderen.
Nah, membaca memiliki keajaiban yang luar biasa, sebab tak ada kemenangan yang hakiki, tanpa dengan kekuatan membaca yang baik.
Bachtiar Adnan Kusuma, Pembaca, Penulis, Pembicara,