Dr Kaswad: Penerimaan terhadap Kearifan Lokal merupakan indikator pokok dalam moderasi beragama

MAKASSAR,- Pusat  Peradaban Islam pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Alauddin Makassar menggelar Seminar Budaya Islam Nusantara Berbasis Moderasi Beragama di Hotel Remsy Panakukang Makassar yang diikuti oleh unsur pejabat, dosen, dan unsur lembaga kemahasiswaan.

Sebagai narasumber bersama Prof. Dr. H. Bahaking Rama (Guru Besar Bidang Pendidikan Islam UIN Alauddin); Prof. Dr. Hj. Nurhayati Rahman (Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin), Dr. H. Kaswad Sartono Ketua Rumah Moderasi Beragama UIN Alauddin mengatakan bahwa dalam membangun peradaban umat manusia dari waktu ke waktu, kebudayaan di samping agama memiliki peran penting dan strategis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana keberhasilan dakwah Islam yang dikembangkan oleh ulama, kyai bahkan para waliyullah di bumi Nusantara dapat berhasil secara gemilang. Tentu tidak lain karena para pembawa dan muballigh itu menggunakan instrumen budaya dan kearifan lokal, yang kini kemudian diistilahkan dengan Islam Nusantara.

Kaswad Sartono yang juga Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar mengemukakan: “Konsepsi Islam Nusantara adalah pikiran atau konsep nilai-nilai keislaman secara substansial yang didakwakan, diamalkan, dan dikembangkan kepada umat Islam sesuai dengan karakter Nusantara.”

Indonesia sebagai bangsa yang multikulturalistik, berbagai kultur dan budaya ada di Indonesia, termasuk di tanah Bugis Makassar. Berbagai budaya sebagai warisan leluhur terpelihara dengan baik, sehingga penanaman nilai-nilai peradaban, kerukunan umat beragama, dan penguatan moderasi beragama dapat berjalan dengan baik.

Menurut Kaswad Sartono yang mengaku sangat senang mendalami budaya dan kultur Bugis, khususnya dari aspek bahasa mengambil beberapa contoh budaya Bugis Makassar yang dapat menjadi ciri khas, karakter, dan ternyata sangat islami. Misalnya adat dalam pernikahan, mulai mappetuada, mappanci, mappasikerawa, hingga mapparola. Bahkan istilah “silariang” dan “pasampo siri” dalam perkawinan Bugis Makassar pun dianalisis dalam perspektif hukum Islam.

Lebih lanjut, di hadapan para peserta seminar, KH Kaswad Sartono juga menyinggung dan memaknai konsep “sulapa eppa” baik dalam perspektif budaya dan sufistik. Bahwa “sulapa eppa” mengandung makna dan simbol-simbol kehidupan, bukan sebatas arah mata angin, keharmonisan empat suku besar yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Luwu; namun sulapa eppa juga mengandung makna asal usul dan kesempurnaan hidup yang berasal dari empat unsur yakni air, tanah, api, dan angin.

“Kemudian, dalam kerangka pembangunan bangsa Indonesia yang pluralistik ini, lanjut Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama itu, bahwa pemahaman dan penerimaan warga negara dan umat beragama terhadap budaya-kearifan lokal merupakan hal yang sangat penting, sehingga dimasukkan dalam satu di antara empat indikator moderasi beragama selain komitmen kebangsaan, toleransi, dan antikekerasan.” Tutup Kabiro AAKK.

Pos terkait

banner 300600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *