Oleh Yanuardi Syukur
Dosen Antropologi Universitas Khairun
Tak lama lagi kita akan memimpin pemimpin nasional yakni presiden dan wakil presiden. Dua tokoh tersebut adalah hasil kompromi politik yang paling final dari partai politik di Indonesia. Suka atau tidak suka, mereka adalah hasil terbaik dari negosiasi dan pertimbangan dari partai politik kita.
Sebagai warga biasa, apa yang dapat kita lakukan terkait pilpres nanti? Tentu, yang pertama kita harus memilih. Siapapun pilihannya itulah yang menurut kita terbaik. Namun siapapun yang nanti terpilih itulah yang pasti terbaik untuk bangsa kita. Suka atau tidak suka, pemimpin terbaik akan lahir dan harus ada sebagai penerus kepemimpinan nasional sebelumnya.
Salah satu problematika saat ini adalah adanya kampanye negatif terkait calon yang berbeda. Tidak jarang kita lihat orang menjelekkan calon lainnya yang mereka tidak setujui. Ada semacam pikiran bahwa karena dia bukan pilihan saya maka dia harus tampil buruk, dengan begitu maka calon saya akan terlihat baik.
Memburukkan kandidat seakan menjadi salah satu cara untuk menaikkan calon pilihannya sendiri. Menurut saya, ini tidak dewasa dan tidak relevan dengan semangat kebangsaan kita. Memburukkan calon adalah bagian dari sikap tidak pancasilais, sebab pancasila mengajarkan berbagai nilai keadaban, termasuk dalam politik.
Nilai keadaban dalam politik misalnya lebih berfokus pada adu gagasan, yakni bagaimana para calon atau pendukungnya menunjukkan bahwa pemikiran mereka itu terbaik dan relevan untuk bangsa. Itu lebih pas dan progresif dan akan membuat bangsa kita lebih maju.
Sebaliknya, adu kekuatan dalam bentuk caci-maki atau memproduksi berita-berita hoaks adalah bagian dari ketidakberadaban dalam politik. Saat ini cukup mudah orang membuat berita hoaks, bahkan pada level tertentu ada yang memproduksi itu sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan.
Satu hal yang penting dalam menghadapi hoaks adalah bagaimana pandangan kita terhadap hoaks itu. Banyak orang yang tidak sadar bahwa berita atau konten yang mereka konsumsi adalah hoaks. Pemerintah sebenarnya telah ada kanal untuk itu, dan media tertentu juga ada, akan tetapi tidak begitu banyak penjelasan ketimbang konten-konteks hoaks yang beredar. Maka, kuncinya ada pada diri kita, jangan sampai termakan berita hoaks.
Akhirnya, siapapun yang terpilih ada satu hal yang harus kita perhatikan yakni bagaimana mengantisipasi agar sisi buruk tabiat manusia atau kekuasaan itu tidak berdampak buruk pada bangsa dan negara. Manusia pada dasarnya baik akan tetapi pada posisi tertentu ia bisa saja keluar dari orbit baiknya dan menjadi yang tidak baik.
Selain memilih di pilpres nanti, antisipasi tabiat buruk dari manusia atau kekuasaan perlu kita diskusikan. Pemimpin haruslah taat pada konstitusi, dan ketaatan itu seharusnya ketaatan dalam arti sebenarnya, bukan dari arti artifisial saja.
Kita berharap pemimpin terpilih nanti adalah yang terbaik. Untuk itu, kampanye negatif dalam berbagai bentuknya perlu dihindari. Labelling yang tidak menyehatkan perlu ditinggalkan. Kita adalah bangsa beradab, dan keadaban dalam politik perlu kita tinggikan, yakni berpolitik dengan cara yang terhormat dan tidak menjatuhkan orang lain untuk menaikkan calon yang diusung. *