MAKASSAR,- Penjajahan ekonomi oleh negara adikuasa adalah praktik yang merugikan dan terus menerus dilakukan terhadap negara-negara yang lebih lemah secara ekonomi.
Pada umumnya, negara-negara adikuasa akan menggunakan kekuasaan dan sumber daya ekonominya untuk mendominasi dan mengontrol perekonomian negara-negara yang lebih kecil. Salah satu caranya adalah dengan pemberian hutang khususnya kepada negara negara berkembang, dengan suku bunga yang tinggi.
Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI Sulsel, Rusdi Hidayat Jufri ST mengungkapkan kekhawatirannya pada hal ini, khususnya bagi nasib pemuda bangsa Indonesia di masa yang akan datang, yang notabene sebagian besar adalah umat Islam.
Dampak dari penjajahan ekonomi ini sangat merugikan negara-negara yang menjadi sasaran. Mereka kehilangan dominasi hak untuk mengatur perekonomiannya sendiri dan terpaksa mengikuti kebijakan yang dibuat oleh negara pemberi hutang. Selain itu, banyak perusahaan asing yang masuk ke negara tersebut dan menguasai pasar lokal, sehingga mengurangi kesempatan bagi produsen lokal untuk bersaing, katanya di Makassar pada Selasa 12 Maret 2024.
Selain itu, menurut Rusdi yang juga ketua perkumpulan BARA IKAN yang fokus pada kekuatan potensi kelautan Indonesia, menilai bahwa masalah lainnya adalah penjajahan ekonomi ini cenderung sulit dipatahkan.
Negara-negara yang menjadi korban praktik ini akan kesulitan untuk mengembangkan perekonomiannya sendiri karena kekurangan pengendalian pada sumber daya, penerapan teknologi, dan kapasitas sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengelolanya. Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan konflik politik dan sosial karena banyak masyarakat yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam perekonomian dan kesempatan kerja. Investasi asing yang masuk pun mengikut sertakan tenaga kerja mereka, bukan hanya buruh terampil,tetapi buruh kasar seperti sekuriti dan petugas kebersihan. Keberpihakan Negara sangat penting untuk tetap berdiri pada kemandirian bangsa dan negara.
“Saya berharap, kondisi ini dapat disikapi oleh MUI dengan serius. Apalagi negara kita sedang mengalami penambahan hutang yang akan terus membebani Fiskal APBN untuk pembayaran bunga yang besar. Minimal setiap komponen bangsa berusaha untuk memikirkan, bagaimana kita bersama-sama untuk saling membantu dan membentuk ekosistem perekonomian yang kuat.
“Majelis Ulama Indonesia harus hadir mendorong setiap muslim untuk memiliki kemandirian dan roda perkonomian yang tinggi agar tidak mudah labil akibat iming-iming materi yang kemudian melupakan nilai nilai dasar agama. Seperti kita ketahui banyak ummat Islam yang terjebak dalam bisnis prostitusi, akibat dorongan ekonomi. Atau bisnis lain seperti judi online, pinjaman online dengan bunga mencekik, atau masuk dalam bisnis penipuan dan lain lain. Kalo kita tidak mengambil peran dan membiarkan ini, maka suatu saat kita akan meninggalkan generasi yang lemah. Bukankah Allah melarang kita meninggalkan generasi yang lemah ?”
Rusdi menambahkan,” Negara-negara berkembang harus bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam hal teknologi dan sumber daya manusia agar dapat bersaing di pasar global. Bukankah negara-negara maju mulai mengalami stagnasi dalam pertumbuhan ekonominya maksimum 3%? Padahal negara-negara berkembang bisa tumbuh hingga 7%.”
“Selain itu, perlu ada kerjasama internasional yang adil dan seimbang dalam hal perdagangan dan investasi agar tidak terjadi penjajahan ekonomi oleh negara adikuasa. Negara-negara berkebang harus saling membantu dalam membangun infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga dapat menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi secara mandiri. Dengan demikian, kita dapat memperkuat perekonomian negara-negara yang lebih lemah dan mencapai kesejahteraan bersama di seluruh dunia, ” tutupnya.
Irfan Suba Raya