Kajian Fiqih, KH Syamsul Bahri: Kita Harus Bermazhab

MAKASSAR,- Sekertaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel Dr KH Syamsul Bahri Abd Hamid Lc MA mengatakan umat muslim harus bermazhab.

Hal ini disampaikan KH Syamsul Bahri saat mengisi kajian Fiqih di Masjid Cheng Hoo Jln Tun Abdul Razak Gowa pada Selasa (6/9/2023).

Menurutnya umat muslim harus bermazhab karena semua ulama terdahulu yang menyampaikan dakwah atau pendapat adalah ulama mazhab.

Ia mencontohkan mazhab seperti seorang menaiki kendaraan menuju masjid , sama halnya dengan seorang harus bermazhab untuk sampai ke Rasulullah.

“Bagaimana mungkin kita memahami hadis dan ajaran Islam lainnya tanpa kita bermazhab sedangkan para ulama kita terdahulu bermazhab, kalau ada yang tidak bermazhan itu ukuti kajian orang yang tidak bermazhab itu juga berarti mazhabnya tidak bermazhab,” katanya.

“Dari para ulama kita bisa mengetahui hadis dan masalah hukum Islam. Semua ulama yang menyampaikan Hukum Islam bermazhab dan berpanutan pada orang alim ulama atau bermazhab, ” ungkapnya.

Ulama dalam Islam memiliki keahlian yang berbeda-beda. Ada ulama ahli tafsir,, ahli sejarah, ahli qiraah dan hadis itu juga hakekatnya bagai bermazbab hanya jurusannya bukan hukum Islam atau bukan Fiqhi.

KH Syamsul Bahri mengulas masalah bid’ah pada kajian yang berjudul ” Sunah dan Bid’ah zaman Tabi Tabiin dan zaman Fuqaha Empat Mazhab Perspektif Fiqih dan Syariat”.

Dalam kajiannya ia membahas pandangan para sahabat, tabi’ tabi’in hingga ke Imam Nawawi mengenai masalah bid’ah. “

Dari sejarahnya setelah Rasulullah wafat hingga jaman ulama 4 mazhab sampai Imam Nawawi yang wafat pada 676 H tidak terjadi perbedaan pemahaman masalah bid’ah yaitu terdiri dari bid’ah Hasanah dan Bid’ah sayyiah (tercela), nanti di zamannya Ibnu Taimiyah baru terjadi perbedaan, “ungkapnya.

Meski Ibnu Taimiyah (728 H) mengatakan setiap bid’ah adalah dhalalah tanpa kecuali namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan perkara yang baru setelah nabi wafat adalah ada disebut sunnah yang baik seperti tertuang dalam kitabnya Iqtidhou shirath.

KH Syamsul Bahri mengutip seorang ulama yang bernama Imam Al-Subki di Mesir pernah membuat kajian tentang hadis “Kullu bid’atin dholalah” dan kesimpulannya ia menemukan bahwa tidak semua kata kullu yang berarti semua adalah bid’ah sayyiah tampa kecuali.

“Kata kullu menurut Imam Subki dalam kitabnya ” Maani kullu wa maa alaihi tadullu ” selalu menyisakan makna kecuali dan maknanya berarti tidak semua demikian kata kullu di dalam Al-Qur’an dan dalam hadis, jadi kullu tidak menunjukan semuanya ,hal ini berdasarkan kata kullu dalam Al-Qur’an tentang kaum ‘Ad yang di hancurkan Allah dengan ungkapan ‘Kulla syain bi amrirabbihaa’ padahal setelah diteliti rumah mereka masih utuh, hanya kaumnya ,binatang serta tumbuhan yang binasa. Jadi berdasarkan pemahaman ayat tersebut kata kullu itu tidak berarti semuanya,” tapi disisakan rumah tidak hancur artinya kullu itu tidak semua,” ungkapnya.

Irfan Suba Raya

Pos terkait

banner 300600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *